Backsound dan announcer tanda berakhirnya jam istirahat berkumandang menggema ke langit dan semua penjuru sekolah. Suara itu sudah menjadi hal biasa terdengar diberbagai tingkatan level sekolah. Mulai Kepala sekolah, guru, siswa, stap tata usaha, para penjual kudapan di kantin, bahkan mahasiswa praktikan PPL pun sudah paham untuk segera mengakhiri semua kegiatan istirahatnya.
Semua guru segera mempersiapkan diri
untuk kembali mengajar di kelasnya masing-masing. Hiruk-pikuk di luar kantor
terdengar, siswa berlarian menuju kelas. sebagian lagi ada yang berjalan dengan
pasti. Bahkan sebagian lagi masih ada yang masih menghabiskan cemilannya.
“Tet... tet... tet... tet... time in the class,” terdengar
kembali backsound dan announcer berbunyi secara otomatis, menegaskan
kembali kepada semua warga sekolah untuk segera melaksanakan aktifitas belajar
mengajar. Semua siswa seakan terhipnotis dan ketakutan mendengar suara yang
kedua kalinya itu. Kemudian dalam hitungan beberapa detik, hingar-bingar di
luar sudah tidak terdengar. Sekejap suasana yang ramai oleh para siswa yang
sedang beristirahat berubah sepi. Seluruh siswa telah berada di dalam kelas. Hanya
hembusan angin dan suara anak-anak dari kejauhan masih terdengar ke dalam
kantor.
“Bapak dan Ibu Guru, anak-anak sudah
menunggu segera tunaikan kewajiban,” suara lembut dan kharismatik kepala
sekolah terdengar. Suara lirih itu telah mengembalikan pemikiran liar waktu
istirahat ku untuk kembali kejalan yang benar. Aku dan semua guru yang sudah
siap dengan berbagai strategi berpamitan untuk mengajar. Satu persatu semua
guru mulai berdiri untuk meninggalkan kursi dan meja kantor yang selalu
dirindukannya.
“Pak Mantri, saya ijin masuk kelas dulu,
saya mau mengajar!” Ucap Pak Agus guru Pendidikan Agama Islam (PAI). “Ya,
silahkan!” Jawab Pak Mantri. “Saya juga sebentar lagi akan mengontrol Bapak dan
Ibu guru di kelas,” lirihnya lagi sambil tersenyum gembira.
Guru-guru mulai meninggalkan ruangan
kantor. Waktu itu Aku guru kelas VI kebetulan tidak ada jam mengajar karena
bagian jam bidang studi agama bersama Pak Agus. Tak terduga, baru beberapa
langkah menuju pintu kantor terlihat anak-anak kelas VI berlari menghampiri
kami. Anak-anak itu membawa seorang siswi yang sedang menangis tersedu-sedu.
“Pak Agus, Hani nangis, Pak! Uangnya hilang waktu istirahat,” kata anak-anak
saling bersautan.
Aku dan guru-guru terperanjat kaget
mendengar laporan itu. Semuanya menghampiri Hani. “Apa yang menimpamu? Jangan
menangis! Uangmu hilang? Dimana? Berapa? Mengapa? Lalu bagaimana?! Jangan
nangis, Nak!” Kata Pak Agus seraya memelukya. “Hik... hik... hikkk... uuu...
uuu... uang untuk bayar jemputan sekolah ku hilang,” jawab Hani terbata-bata.
“Ha...
ha... ha... ha... hik... hik... hikkk...” Aku tertawa dalam kesedihan
berkecamuk dalam batinku mendengar percakapan Pak Agus dan Hani. Aku tertawa
karena mendengar pertanyaan yang
bertubi-tubi, seakan-akan Pak Agus menjelma menjadi sosok wartawan legendaris.
Sedihnya melihat Hani yang pilu seakan telah menjadi anak ku sendiri. Aku
bersedih karena tanggungjawab moralku sebagai guru kelasnya.
Seandainya sang legenda wartawan
Indonesia, H. Rosihan Anwar masih hidup dan mendengarkan pertanyaan Pak Agus,
mungkin beliau akan bangga karena rumus (5 W + H + SO WHAT) yang beliau selalu
gunakan dalam kegiatan jurnalisnya dipakai oleh Pak Agus. Seandainya artis
sinetron Indonesia terkenal seperti Alyssa Soebandono yang pandai memerankan adegan
menangis, melihat Hani yang kali itu menangis pun pasti hatinya akan hancur
perkeping-keping menyaksikan penderitaan Hani.
“Anak-anak masuk kelas kembali! Hani, kamu
sabar ya... nanti Bapak carikan kembali uangnya sekarang masuk kelas dulu!”
Hibur Pak Agus. Hani pun kembali ke kelas bersama teman-temannya. “Teman-teman
silakan duluan masuk kelas kasian anak-anak yang lainnya sudah menunggu!”
Perintah Pak Agus kepada guru yang lainnya. Guru-guru pun segera menunaikan
kewajibannya. “Mantul bener nih, Pak Agus. Cuco sekali kalau jadi kepala
sekolah,” seloroh batinku.
Di depan teras kantor tinggalah Aku dan
Pak Agus berdiri mematung tanpa kata, tanpa ekspresi, seakan terjadi penurunan
hormon tiroid pada hipotiroidisme yang mengganggu detak
jantung. Dengan kaki bergetar lemah, letih, dan lesu Aku segera menghampiri Pak
Agus yang kebingungan. “Begini Pak, Aku punya sulap supaya pencuri uang di
kelas Hani ketahuan dan mengembalikanya kepada kita,” usul ku kepada Pak Agus.
“Bagaimana caranya?” Masih kebingungan Pak Agus bertanya kepadaku.
“Begini, nanti kita masuk kelas bersama-sama, di kelas mata ku
akan ditutup kain. Saya akan menunjukan sulap. Tanpa melihat bisa mengetahui
jumlah benda.” Casciscus jelasku. “Bagaimana bisa?” Tanya Pak Agus keheranan.
“Begini, nanti ketika mata ku ditutup, Pak Agus acungkan benda di depan
anak-anak. Jika benda yang diangkat berjumlah 3 nanti Pak Agus berdehem 3 kali. Jika bendanya 2 berdehem 2 kali lah. Tapi Pak Agus
jangan mengangkat bendanya terlalu banyak, takut nantinya berdehem-dehem.” Ceracauku. “Aku punya keyakinan jika anak-anak
sekecil itu bisa melihat adegan sulapku, meraka akan menyangka Aku bisa melihat
dan mengetahui siapa pencurinya. Pencurinya pun akan ketakutan dan segera
mengembalikan uang curiannya.” Babibu paparku. “Ohhh...begitu, baiklah! Mari
kita laksanakan!” Seperti komandan upacara HUT Bayangkara Kepolisian Republik
Indonesia, keras dan lantang Pak Agus mengajaku ke kelas.
Dengan secepat mungkin kami segera
menuju kelas VI, di perjalanan terjadilah perang besar yang terjadi dalam batinku.
Aku merasa sulap yang akan dilakukan merupakan perbuatan dosa! Mendustai!
Memberitai hal pembohongan publik! Pemikiranku selalu mencari alasan untuk
melakukan trik sulap itu. Mengapa acara-acara sulap di TV sampai saat ini tidak
mendapatkan label haram maupun halal dari Majelis Ulama Indonesia? Mengapa
Komisi Penyiaran Indonesia pun tidak mengeluarkan larangan acara sulap di TV?
Tinggal beberapa meter lagi kami akan
segera masuk kelas, “Pak Agus, apakah perbuatan kita ini termasuk dosa?”
Akhirnya batinku meledak bertanya kepada Pak Agus yang kebetulan sangat paham
tentang ilmu agama. “Berbohong pada dasarnya haram, tapi dalam keadaan
tertentu, Islam memberikan kelonggaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan dia
antara pihak yang berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang
baik (demi mendamaikan pihak yang berselisih).” Jelas Pak Agus menyakinkan
batinku yang berkecamuk.
Setibanya di dalam kelas, Aku masih
melihat deraian air mata Hani bercucuran. Dia sedang dihibur oleh sebagian teman-temannya.
Mengetahui kami ada di kelas semuanya kembali ke kursi masing-masing dan
terdiam. Suasana terasa tegang, kaku, dan mencekam. Sebanyak 25 pasang bola
mata tertuju kepada kami, kecuali Hani masih tersedan-sedan menunduk menangis
di atas meja.
“Anak-anak, Bapak punya sulap! Mau tau
gak!?” Tanyaku. “Mau...mau...mau, Pak!” Seru mereka. Suasana pun berubah riang
gembira, Hani pun mulai mengangkat kepalanya penasaran ingin melihat sulap
dariku. Air matanya mulai terhenti. Wajahnya sedikit berubah menunjukan ekspresi
gembira.
Setelah menjelaskan permainan sulap,
kemudian Aku memberikan kultum sebentar mengenai perbuatan mencuri. “Mencuri
adalah perbuatan dosa. Mencuri akan merugikan orang lain. Allah itu Al-Alim dan
Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah akan menghukum umatnya yang melakukan
perbuatan mencuri kelak nanti! Jadi siapa yang mencuri uang, Hani?!” Tanyaku kepada
anak-anak. Suasana terasa tegang, kaku, dan mencekam kembali. Bedanya sekarang
Hani mulai mengawasi satu persatu temannya. Ia berharap ada temannya
mengembalikan uangnya kembali. Harapannya pun sirna, tidak satu pun temannya
yang mengakuinya.
Aku mulai kecewa, tidak ada satu pun
anak gentle man mengakui perbuatannya.
Aku mulai kurang percaya diri, apakah aku gagal menjadi seorang guru? Mungkin
hanya di sekolahku ada kejadian seperti ini? Aku tidak mampu mendidik anak? Aku
mulai merasa malu, darahku serasa turun. Hormon tiroid pada hipotiroidisme
yang mengganggu detak jantungku mulai terasa kembali.
“Pak... mana sulapnya!” Terdengar salah seorang anak meminta untuk segera
mempertunjukan sulapku. “Iya...iya... ayo... cepat, Pak!” Anak-anak bersahutan.
“Iya, sebaiknya cepat laksanakan, Pak!” Seru Pak Agus yang telah menyadarkanku
dari lamunanku. Sambil membawa bola tenis, Pak Agus segera menutup mataku
dengan sehelai kain. Dengan sekejap Aku tidak bisa melihat suasana terasa
tegang, kaku, dan mencekam kembali, mungkin anak-anak sudah mulai terkesima
melihat adegan itu.
Ketika momen sulap berlangsung, semua
anak menyangka Aku bisa melihat benda yang diangkat Pak Agus itu. Padahal
dengan kode dehem-dehem Pak Agus, Aku
bisa mendengar jumlah benda yang diangkatnya. Sedangkan anak-anak tidak
menyadarinya trik sulap itu akibat deheman
Pak Agus. Mungkin yang ada dipikirannya, Aku ini orang hebat, pandai main
sulap, dukun, atau mungkin ahli sihir.
“Anak-anak, Bapak akan mengangkat bola
tenis lagi!” Seru Pak Agus, menyuruh anak-anak untuk menyaksihan sulap kembali.
Aku segera menebak jumlah bola tenisnya. “Tiga...!!!” Tebakku. “Lima...!!!”
Seruku. “Satu...!!!” Jawabku. Lagi, lagi, dan terus sulap itu diulang-ulang. Setiap
Aku berhasil menebak jumlah bola itu, suasana semakin tegang, kaku, dan
mencekam. Hanya terdengar suara-suara berat dan serak terlontar dari mulut
anak-anak, “wah... oh... amboi... cis... nah... wah... sybas...” bercampur
aduk.
Pertunjukan sulap selesai. Aku mulai
bertanya kembali “Siapa yang mencuri uang, Hani?!” Hani kembali mengawasi satu
persatu temannya. Ia terus berharap ada temannya yang mengembalikan uangnya.
Harapannya pun sirna, tidak satu pun temannya yang mengakuinya. Aku mulai
kecewa kembali, tidak ada satu pun anak gentle
man mengakui perbuatannya. Aku mulai kurang percaya diri lagi, apakah aku
gagal menjadi seorang guru? Mungkin hanya di sekolahku ada kejadian seperti
ini? Aku tidak mampu mendidik anak? Aku mulai merasa malu, darahku serasa turun
lagi. Hormon tiroid pada hipotiroidisme yang mengganggu detak
jantungku dan menghantuiku.
“Pak Agus, saya gagal, sebaiknya
lanjutkan bapak untuk mengajar, saya akan ke kantor lagi!” Keluhku. “Baiklah,
terimakasih atas usahanya, Pak!” Jababnya. Sebelum Aku meninggalkan kelas VI
aku berkata pada anak-anak, “Hai...! Anak-anak camkan omongan Bapak! Bapak bisa melihat walaupun mata
tertutup. Jadi barangkali kalian ada yang mencuri uang Hani! Tolong kembalikan
kepada Bapak!” Setelah itu Aku pun kembali melepas rindu dengan korsi dan meja
kantor kesayanganku. Hembusan napasku dihentakan di atas kursi itu. Malu,
marah, dan sedih berkecamuk menjadi satu dengan kejadian itu.
“Tung... tung... tung...tung... time to go home,” terdengar kembali backsound dan announcer berbunyi secara otomatis, jam menunjukan pulang sekolah.
Semua anak berlarian meninggalkan sekolah. "Tenang, Pak. Jangan bingung!”
Seru Pak Agus yang telah selesai mengajar. “Saya sudah mengganti uang Hani
dengan uang pribadiku.” Tandasnya. Aku senang dan tersenyum getir, batinku
semakin rapuh, “Terimakasih, Pak Agus!” Jawabku.
Tak berselang lama setelah sekolah mulai
sepi, ada anak laki-laki kelas VI masuk ke kantor. Wajahnya memerah, mungkin
rasa malu, takut, dan penyesalan terlihat di mukanya. “Maafkan saya, Pak. Uang Hani
itu saya yang curi!” Terbata-bata anak itu mengakui perbuatannya. “Ini,
uangnya, Pak, saya kembalikan!” Suara berat dan tangan bergetar anak itu sambil
menyodorkan uang sebesar Rp. 150.000,- kepadaku. “Oh... ternyata kamu yang
mencurinya! Tolongyah anakku, kamu jangan mengulangi perbuatan itu. Mencuri
akan merugikan orang lain. Allah itu Al-Alim dan Al-Khabir (Yang Maha
Mengetahui). Allah akan menghukum umatnya yang melakukan perbuatan mencuri
kelak nanti!” Ajarku.
Setelah kejadian itu,
akhirnya darahku membali seakan naik, bahagia, bangga seakan reaksi kimia telah
mengubah zat-zat yang terkandung dalam makanan telah mengubah menjadi energi
super power dalam tubuhku. Kini anak laki-laki itu menjadi sosok yang
bertanggungjawab, berani mengakui kesalahannya, dan tidak akan mengulangi
perbuatannya. “Pulanglah anakku, keluargamu menantimu di rumah!” Pungkasku
sambil membelai kepalanya. “Pak Agus, sulap yang tadi di kelas jangan sampai
ada yang tahu! Itu RAHASIA!” Harapku. Kami pun terpisah di ujung pintu kantor
menuju pulang ke rumah masing-masing.
The good teacher
BalasHapusWallahu A'lam
HapusMendidik dan mengajar yang berkesinambungan ...
BalasHapus👍👍
Guru penyabar adalah guru kelas I
HapusMataps... Bingits...
BalasHapusTerimakasih spanduknya, Pak.
Hapus